Bisa dikatakan proses kreatif dalam membuat Ep “The Rhythm of Life” ini tidak memakan waktu yang sangat lama hanya saja Ethnoism memikirkan ulang konsep yg sudah ada menjadi sesuatu yang nyaris tidak biasa di kuping mereka, semua berawal dari jam session dan improvisasi bebas hingga menjadikan proses kreatif hanya membutuhkan waktu 5 bulan untuk menjadikan 5 buah lagu direkam dan dimixing di Padepokan Seni Mahagenta Bogor.
Di sanggar tersebut Ethnoism tercipta dan di sana Ethnoism mencoba eksplorasi ke 5 lagu tersebut dengan berbagai alat tradisional Indonesia dari Gamelan Slendro Jawa Barat, Kecapi Sunda, Suling Gambuh Bali, dan Kacapi Kajang dari Sulawesi, dengan pola rhythm yang diimplementasikan ke dalam perangkat modular Synthetizer dengan beat Heavyetal dan vokal Growl dan gumam tradisi..untuk mastering Ethnoism percayakan pada Jarets music studio cikarang pada akhir tahun lalu. “The Rhythm of Life” sebuah simbolis pemikiran dari kehidupan yang mereka lalui, tidak akan pernah mengalami titik yang sama dalam problematika, suka, duka, sedih, senang, tetap harus menjalani hingga Tuhan mentakdirkan mati dan seterusnya, seperti halnya musik yang berirama dan beritme tidak pasti dari awal dan detik terakhir pada notasinya saat mereka mendengarkannya.
Secara musical, Ethnoism hanya memainkan yang mereka suka tanpa melandasi genre tertentu dan keluar begitu adanya tanpa mereka disadari, secara sound elecrtonic album ini menyadur dari suara-suara vintage peradaban musik 70 hingga 80an, seperti Tangerine Dream dan Pink Floyd, hanya saja mencampurkan unsur Punk, Thrash Metal, dan kebetulan satria adalah X gitaris dari band punk Garputala, dan Bayu juga masih sebagai vocal dengan band roots, dan Satria banyak belajar dan ekspolari instrumen tradisional seperti Sape Kalimantan, Kecapi Sunda, Gamelan dll. Ethnoism terbentuk pada pertengahan 2020 tepatnya di padepokan seni Mahagenta Bogor Jawa Barat, berawal dari Satria yang sedang mendalami berbagai instrumen musik tradisional di sanggar musik tersebut.
Ethnoism awalnya merupakan proyek solo musik experimental dengan unsur elektronik dan etnik instrumental. menyatukan unsur musik dengan bunyi bunyian etnik tradisional Indonesia dengan melebur unsur modern bernuansa elektronik, noise hingga heavy metal Ethnoism menemukan partner baru bernama Bayu seorang vokalis yang banyak mendalami olah vokal tradisi dan modern.
“Sebagai kelompok musik yang hidup dan berkembang di masa kini di mana nilai-nilai budaya yang bersifat tradisional nyaris tersingkir, kami berupaya untuk tetap menjadikan seni tradisi Indonesia berperan untuk memvisualisasikan keadaan sesungguhnya dengan unsur seni media baru dan eksplorasi seni yg kekinian. kami akan selalu menyuarakan aspirasi dengan isu isu sosial, politik dan budaya dengan bentuk seni suara yang berdasarkan pemikiran” tutup, Ethnoism.